Minggu, 24 Agustus 2008

'Ngelawang' Usang di Tengah Nurani Gersang


Tulisan di Balipost


KETIKA tradisi ngelawang masih bergulir harmonis, betapa terkesan tenteram dan damainya Bali. Perayaan Galungan dan Kuningan yang dimaknai sebagai hari kemenangan dharma atas adharma, rasanya kurang afdol tanpa dimeriahkan oleh sajian pentas ngelawang. Gairah berkesenian dan perhatian terhadap jagat seni itu mengesankan betapa sejuknya hati sanubari masyarakatnya. Apakah kini dengan tergerusnya ngelawang akan menjerumuskan masyarakat Bali pada kegersangan nurani?

Ada yang menafsirkan filosofi ngelawang sebagai ruwatan bumi demi terawatnya kemanusiaan. Tradisi pentas seni nomaden ini diduga berakar pada psiko-religi dari sebuah mitologi Hindu, Siwa Tatwa. Alkisah, ketika Dewa Siwa dan Dewi Uma bercinta tidak pada tempat dan waktunya, harmoni terguncang. Bumi gonjang-ganjing. Akibatnya adalah kesengsaraan bagi umat manusia dan makhluk hidup yang lainnya. Sadar akan kekhilapannya itu, Dewa Siwa mengutus para dewa untuk menenangkan dan menemteramkan kembali seisi alam. Setiba di bumi, para dewa itu menciptakan dan mementaskan beragam bentuk kesenian. Lewat pergelaran seni itu seisi jagat kembali damai.

Persembahan ngelawang pada Galungan juga disangga konsepsi alam pikiran menolak bala yang berangkat dari legenda kemenangan kebajikan melawan kezaliman. Konon, dulu di Bali berkuasa seorang raja zalim bernama Mayadanawa. Raja berwujud raksasa ini dengan sewenang-wenang melarang rakyatnya menyembah Tuhan. Turunlah kemudian Dewa Indra dari kahyangan untuk memerangi Mayadanawa. Melalui pertempuran yang dahsyat, Dewa Indra berhasil membinasakan Mayadanawa. Sejak itu rakyat Bali kembali tenteram yang kemudian mensyukurinya sebagai hari Galungan. Seni pentas ngelawang dalam konteks ini dimaknai untuk menjaga kesucian jagat dan melindungi manusia dari gangguan roh-roh jahat.

Akar mitologi dan sanggaan legenda yang mengusung keberadaan ngelawang itu kini, setidaknya sejak 15 tahun terakhir, rupanya mulai rapuh. Padahal dalam konteks berkesenian, tradisi ngelawang adalah wahana pelestarian dan pengembangan nilai-nilai estetis nan alamiah. Dan interaksi yang terjadi dalam ngelawang adalah hasrat sukmawi masyarakat dalam arti luas untuk berkomunikasi, menjalin solidaritas, merajut ketenteraman hidup bersama.


Didera Kegamanagan
Ngelawang kini kian menepi. Fenomena kehidupan transformatif ini tak bisa dipungkiri memang membawa konsekuensi multidimensional dalam berbagai aspek. Atmosfir masyarakat agraris tradisional dengan kekentalan psiko-religiusnya mungkin memang kontekstual dengan persemaian yang kondusif bagi eksisnya tradisi ngelawang pada masa lalu.

Sementara kini di tengah dinamika dan konfrontasi nilai-nilai, pola pikir rasional dan pola laku pragmatis-sekuler, membumbung naik daun. Dalam konteks industri global pariwisata Bali misalnya, komersialisasi dan sikap permisif cenderung dijunjung-junjung. Komunalitas pentas ngelawang kalah.

Pamor tradisi ngelawang dalam esensi seni dan terutama subtansi makna ritual magis yang dikandungnya bisa jadi telah terkikis, kehilangan konteks. Masyarakat pendukungnya sedang bimbang di persimpangan zaman dalam guncangan dahsyat modernitas dan globalitas. Reaktualisasi dan kontektualisasi ngelawang yang digaungkan setiap tahun dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) misalnya, belum mampu menggugah bangkitnya kembali pentas seni itu di tengah masyarakat Bali. Jika pun ada, tampak terkesan sebuah pertunjukan emosional romantis sesaat.

Ada kecenderungan makna-makna sakral-magis-simbolik sedang tergerus. Sebaliknya materialisme hedonistis sedang berhembus kencang mereduksi tatanan kehidupan. Karena itu, masuk akal bila seni pentas ngelawang terjengkang, kehilangan fungsi dan makna, linglung di persimpangan jalan dalam kegalauan masyarakat pendukungnya yang sedang bimbang di persimpangan zaman. Apa boleh buat.

Belakangan ini para pegiat seni pertunjukan tradisional Bali didera kegamangan dan kian ciut nyalinya melakoni kehidupan ini. Termasuk gamang meneruskan dan mewarisi pentas seni ngelawang.

Fenomena ini bisa jadi merupakan prolog dari krisis kemanusiaan dan kebersamaan sosial. Mudah-mudahan para seniman sebagai insani terdepan mengawal damainya dunia seni masih tegar dan tak kehilangan gairah menghadapi guncangan dan godaan kehidupan ini.

Namun, jika para pegiat seni sendiri sudah tidak arif memformulasikan pesan moral kebajikan dan kezaliman dalam ekspresi diri dan keseniannya, niscaya akan kian menjauhkan masyarakat dari indahnya kedamaian itu. Pentas ngelawang jadi usang di tengah nurani gersang.


* kadek suartaya

Senin, 11 Agustus 2008

Wejangan Kepemimpinan Melalui Wayang Orang

Berita di Kompas

Wejangan Kepemimpinan Melalui Wayang Orang

KOMPAS/NINOK LEKSONO / Kompas Images
Rama Tundung Lakon dari Ramayana ini dipentaskan di Teater Kautaman, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Minggu (10/8).

Selasa, 12 Agustus 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Kisah Ramayana yang masyhur telah banyak dikenal bahkan oleh anak-anak Indonesia. Namun, kisah dari dunia pewayangan ini ternyata juga memiliki segi yang dapat digunakan untuk pendidikan politik. Inilah yang diangkat oleh Pewayangan Kautaman dan Swargaloka Art Department ketika mementaskan lakon ”Rama Tundung” di Teater Kautaman, TMII, Minggu (10/8).

Dalam lakon yang dipentaskan dengan dukungan Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Sena Wangi) ini, Rama—putra sulung negeri Ayodya—harus meninggalkan istana dan mengembara ke hutan selama 13 tahun karena ibu tirinya, Kekayi, menginginkan anaknya sendiri, Barata, yang menjadi raja.

Namun, Barata menolak. Pada kenyataannya, negara yang tak didukung oleh kepemimpinan kokoh tidak berjalan dengan baik. Ketika menyusul Rama ke hutan dan memintanya untuk kembali ke Ayodya, Barata mendapatkan wejangan yang dikenal sebagai Hasta Brata.

Kepada adiknya, Rama menasihati agar selama ia di pengasingan, Barata bisa memerintah dengan mengambil keteladanan ”Matahari, Api, Bulan, Bintang, Angin, Awan, Laut, dan Bumi”. Raja atau pemimpin yang bisa memerintah dengan menerapkan Hasta Brata akan menjadi negarawan yang sukses, disegani kawan dan lawan, dan mampu membawa rakyat menjadi bangsa yang adil dalam kemakmuran, dan makmur dalam keadilan.

Pergelaran didukung sejumlah artis pemain wayang, dan tim kreatif yang menampilkan gending baru. (NIN)

Kota Bandung, Tidak Punya Gedung Pertunjukan..?

Berita di Kompas

Wali Kota Bandung Harus Peduli Kesenian
Tidak Punya Gedung Pertunjukan
Senin, 11 Agustus 2008 | 15:10 WIB

Bandung, Kompas - Seniman Kota Bandung mengharapkan wali kota Bandung terpilih meningkatkan perhatian pada perkembangan dunia kesenian. Salah satu permasalahan yang mendesak dibenahi adalah tidak adanya gedung penyajian seni budaya yang representatif di Kota Bandung.

Menurut seniman Arthur S Nalan, Minggu (10/8), visi-misi yang disampaikan tiga calon wali kota dan wakil, beberapa waktu lalu, tidak menunjukkan komitmen tinggi pada seni budaya di Bandung. Salah satunya adalah keperluan pembangunan sarana kesenian yang representatif.

Bandung sebagai ibu kota Jawa Barat memiliki potensi tinggi pada kekayaan seni budaya Sunda. Namun, penyajiannya sering kali jauh dari yang diharapkan karena tidak memiliki sarana memadai, yaitu gedung pertunjukan representatif. Padahal, selain meningkatkan aktivitas kesenian masyarakat Bandung dan sebagai sarana publik, tempat representatif bisa menjadi sarana promosi tepat bagi seni dan budaya.

"Keberadaan ruang publik berbagai macam jenis kegiatan semakin mendesak di Kota Bandung. Dengan beragamnya aktivitas, sudah seharusnya wali kota terpilih memikirkan tempat bagi penyaluran kreativitas warga," Arthur menegaskan.

Kota kreatif

Kebutuhan ruang publik juga dikatakan seniman Andar Manik. Ia mengharapkan wali kota terpilih menyadari potensi Bandung sebagai kota kreatif. Hal ini harus diaplikasikan dengan penyediaan ruang publik tempat masyarakat dapat berinteraksi dengan hasil karya warga.

Selain itu, perlu pula ditata jaringan komunikasi antara pelaku karya kreatif dan pemerintah. Selama ini, hal itu belum berjalan maksimal. Fungsi dialog mencari jalan terbaik tidak pernah muncul karena seniman, pelaku karya kreatif, dan pemerintah belum duduk bersama dan masih berjalan sendiri. Bahkan, tidak jarang, seniman dan pelaku karya kreatif kecewa karena konsep karya diintervensi pemerintah.

"Ruang publik menjadi semacam keharusan bila ingin mengembangkan industri kreatif di Kota Bandung. Beragam konsep masyarakat bisa mendapatkan tempatnya di sana," katanya.

Hal sama dikatakan Taufik Hidayat Udjo, pengelola Saung Angklung Mang Udjo. Ia mengatakan, komunikasi pemerintah dengan seniman harus dipererat. Hal ini dilakukan agar pemerintah selalu memfasilitasi pergelaran seni budaya Jabar.

"Pemerintah kota sebelumnya cukup bagus. Mereka beberapa kali mampu mengakomodasi penampilan kesenian tradisional. Ke depan, siapa pun wali kotanya harus meningkatkan kerja sama dan menyediakan porsi besar bagi tradisi Jabar di Kota Bandung," katanya.

Komitmen pemerintah kota pada kesenian dan adanya komunikasi antara pemerintah kota dan seniman diyakini bisa menahan gempuran klaim negara lain terhadap budaya dan kesenian Sunda. Dengan banyaknya kesempatan tampil, hidup dan perkembangan kesenian tradisi bisa terjaga. (CHE)

Jumat, 08 Agustus 2008

Tekankan Pentingnya Jaga Budaya Bali


Tekankan Pentingnya Jaga Budaya Bali


Denpasar (Bali Post)

Para seniman Bali sepertinya mampu meneteskan setitik air untuk melepaskan dahaga para warga Bali di daerah perantauan, Sulawasi Tenggara, yang haus pagelaran seni. Serangkaian acara Utsawa Dharma Gita (UDG) X yang digelar di Kendari, 4-9 Agustus, sekitar 60 orang seniman Bali menghibur warga dengan sejumlah garapan seni.

Pada saat pembukaan UDG oleh Menteri Agama, pragina Bali menampilkan tarian Sekar Jagat dan dramatari Legong Calonarang. Pada hari kedua, para seniman Bali menampilkan kesenian Prembon berjudul 'Ki Lobar' dan sejumlah tarian lepas seperti tari Nelayan dan Baris Tunggal.

Seniman Nyoman Budi Artha yang terlibat dalam kegiatan seni itu, Kamis (7/8) kemarin mengatakan, pentas seni para seniman Bali mendapat apresiasi yang baik dari para warga Bali di Kendari. 'Warga Bali di sana sepertinya haus akan seni miliknya, sehingga mereka berduyun-duyun menyaksikan pergelaran yang ditampilkan delegasi UDG dari Bali. Mereka sangat antusias menonton hingga pertunjukan usai. Lapangan monumen tempat digelar hiburan, dipadati penonton,' ujar Budi Artha yang pegawai Dinas Kebudayaan Bali.

Prembon 'Ki Lobar' tersebut diperkuat sejumlah seniman seperti Putu Anom Ranuara, Putu Yik, AA Serama Semadi, Diana Yoga, Raspita dan Nyoman Budi Artha. Berdurasi sekitar dua jam, prembon yang sarat pesan itu mendapat sambutan yang hangat dari warga Bali di sana. Terlebih dramatari itu menekankan pentingnya ajeg Bali -- agama, adat-istiadat dan budaya Bali.

Prembon itu menceritakan tentang pemerintahan di Bali pascazaman Bali Kuno. Saat itu sempat terjadi kevakuman pemerintahan di Bali karena tidak memiliki raja. Guna mengisi kekosongan kepemimpinan, Bali mohon seorang pemimpin dari Majapahit. Diutuslah Raja Sri Aji Ketut Kresna Kepakisan. Namun, pada awal kepemimpinannya, sang raja sempat kurang mendapat simpati, sehingga lama-lama tidak betah dan ingin pulang ke tanah Jawa -- Majapahit. Namun keinginan itu tidak disetujui oleh Gajah Mada.

Guna melangsungkan pemerintahannya di Bali Dwipa, sang raja diberi pusaka bernama 'Ki Lobar'. Pusaka itu mesti ditancapkan di tanah. Pesan lainnya, agar tetap langgeng memimpin di Bali, sang raja mesti melestarikan adat-istiadat, budaya Bali dan agama Hindu Bali. Sang raja pun merespons semua pesan itu. Upacara agama pun digelar di Pura Besakih. Akhirnya, sang raja mendapat simpati karena memahami betapa pentingnya pelestarian budaya, adat-istiadat.

Dikaitkan dengan konteks pemimpin dan kepemimpinan Bali sekarang dan yang akan datang, kata Budi Artha, ada pesan penting yang sejatinya terkandung dalam cerita prembon tersebut. Siapa pun yang memimpin Bali, mesti memiliki pemahaman tentang budaya Bali, berikut memeliharanya dengan baik. (lun)

Kamis, 07 Agustus 2008

Gedung Konser (Internasional) yang ‘dedicated’ untuk Wayang Kulit..?


Suntory Hall - Tokyo

Gedung Konser (Internasional) yang ‘dedicated’ untuk Wayang Kulit..?


Dari response teman2 di mailing list, berikut saya kutipkan komentar & idea yang terkandung di dalamnya..:
Dari sisi Akustik ada contoh gedung konser yang dapat memenuhi semua tuntutan 'preferensi penonton/pendengar' nya, misalnya saya sisipkan foto dari Suntory Hall - Tokyo Japan.
Jika Gedung Konser Wayang Kulit bentuk dan design nya seperti Suntory hall ini, bagaimana..?
Rasanya 'preferensi'nya Mas Marko
Menonton.....mendengarkan.....membayangkan.....
bisa tercapai ya...?
Pertanyaan nya adalah..? Apakah serious... perlu adanya Gedung Konser untuk
Wayang Kulit?
Apalagi yang berkarakteristik Internasional !
Kalau dari sisi akustik nya, saya yakin bisa dirancang untuk mencapai
'performansi optimalnya'..
selevel dengan gedung konser internasional
(tentunya tanpa perlu diisi dengan 'pipe organ'nya].. ;-)
Bagaimana juga dengan ksenian Wayang Golek, Wayang orang [Wong]
dan juga Wayang kulit dari Bali?

NB :
Ingin tahu lebih banyak tentang wayang..?
Kunjungi saja : http://prabuwayang.wordpress.com/


Copy-Paste .. Comment di milist [sekalian minta ijin ya]..

Pernah nonton wayang kulit ?
Bagaimanakah seharusnya posisi gamelan agar bisa terdengar "me-ruang",  
tetapi posisinya jangan pas ada di belakang dalang?
Dengan posisi tradisionil sekarang ini, jarak antara penonton dengan dalang
menjadi jauh, dan untuk orang2 dengan mata minus,
wajah wayang menjadi kurang jelas.
Apakah perlu dibuatkan gedung pertunjukan khusus wayang kulit dengan 
pengaturan khusus?

Salam,
Pras "Prasetyo Roem" konti@cbn.net.id
Betul cak Pras, perlu dibuat gedung dengan tiga level tanggung.
Dua level di belakang dalang, dimana gamelan di bawah dan penonton di atasnya.
Kemudian dalang di depan dengan level setengahnya,
tengah-tengah level antara penonton dan gamelan.
Dengan dimikian baik penonton maupun penabuh gamelan bisa dekat
dengan posisi dalang hanya level ketinggiannya berbeda.
 
Salam,
Sumarko sumarko@musashi.co.id
wah kayaknya gak bisa  mas marko, nanti mata kita, penonton, ada diatas layar...
atau kalau sejajar layar, gamelan jadi di bawah kita...
wah gak tau kalau susunan ini secara akustik masih ok???
lha wong sumber suaranya dibawah..
bagaimana kalau gamelan dibagi 2, di kiri dan kanan... dalang,
jadi jarak penonton yang sudah minus matanya masih bisa menikmati detail wayang..
btw, blog mas Komang Ok, salut

salam
"arya abieta" <aabieta@yahoo.com>
Konon khabarnya nonton wayang kulit itu tidak harus melihat detail wajah wayangnya
cukup hanya bayangan sosok wayang, oleh karena itu juga disebut sebagai shadow puppet
.. ta' iye.
Yang mengagumkan adalah designer wayang yang sudah memperhitungkan efek bayangan
secara detail sehingga dari balik layarpun bisa dinikmati ......
Gamelan bisa dibagi menjadi 2 kelompok asal delay suara masih dalam allowance
karena mereka khan tidak ada konduktornya .... konduktornya cuma suara kendang.
 
Wied wied01@yahoo.com
mantan peniup suling Waditra Ganesha

gemana paka Komang Mertayase ?, ahlinya akustik

"Nyoman Sumawijaya" nyomans@geotek.lipi.go.id

Aturan yg bener nnonton wayang kulit seharusnya gimana sih?
Saya kira dari balik layar dimana penonton tdk bisa melihat dalang dan gamelannya.
Jadi yg kita tonton adalah bayangan yg terlihat di layar. Betul enggak sih...?
 
bs Budi.Santoso@arunlng.co.id
Nonton wayang kulit itu perlu dipilah pilah mau pilih apanya :
1. Nonton "geber" dibalik layar, puas dengan bayangan + membayangkan suara sinden
2. Nonton sinden : antara suara dengan kecantikkannya nyambung apa tidak
3. Nonton "sabetane" dalang, ketrampilan dalang dalam memainkan wayang
4. Mendengarkan pesan-pesan dalang, cukup dengan mendengar tidak perlu nonton
5. Mengikuti alur cerita dan membayangkan bagaimana serunya
6. .... Menonton.....mendengarkan.....membayangkan.....
Jadi yang bener yang mana, ya semuanya benar karena tidak ada yang salah
Ha...ha....ha....
 
Salam,
Sumarko sumarko@musashi.co.id

Kang ..... aku gak ngerti aturan nonton wayang kulit yang bener itu seperti apa,
waktu kecil doeloe memang sering nonton wayang kulit ini walau sebagian besar suluk dalang
atau ceritanya aku nggak mudeng ..... maklum aku nembe belajar boso jowo.
Biasanya waktu "jejeran" aku mlungker turu dekatnya kotak wayang,
lha kalau sudah saatnya perang tanding kotak itu pasti diketok-ketok keras oleh dalangnya ...
.. hehehe aku bisa bangun saat rame-ramenya, apalagi saat punakawan muncul pasti ger ... geran .....
Tampaknya Kiyai Harmiel adalah empu di bidang wayang bisa menjelaskan secara detail ....

Wied

Mon, August 11, 2008 2:47 pm

wah ... kalo spt Suntory Hall rasanya masih jauh banget bisa punya. Apa
perlu yang dedicated utk wayang kulit? gimana kalo gedung yg multi
purpose, bisa untuk konser wayang kulit, wayang orang, wayang golek,
konser musik (orchestra maupun yg bukan), pertunjukan seni tari, dsb.
Sekarang ini gedung opera yg bagus memenuhi syarat akustik yg baik di JKT
atau kota lain di Indonesia apa ya?

Problem akustik yg umumnya dialami ketika berada di suatu mesjid dg jumlah
jamaah (orang yg ada di ruangan tsb) yg penuh akan berbeda dg jika
jamaahnya sedikit. Ketika jamaahnya penuh, tidak ada gangguan gema shg
suara dari mimbar mudah didengar. Ketika jamaahnya sedikit, timbul gema.
Gimana nih mensiasatinya. Maunya tidak pake karpet, karena lantainya
marmer.

Terima kasih........, bs
Budi.Santoso@arunlng.co.id

Catatan :
Tentang Akustik untuk mesjid bisa dilihat di blog kolega saya :
http://jokosarwono.wordpress.com/2008/05/05/akustik-masjid/

Untuk Multi-purpose Hall, salah satunya adalah Sasana Budaya Ganesha ITB.
Silahkan search di internet mengenai utilisasinya.

Dari sisi Akustiknya akan saya bicarakan di kesempatan mendatang.

Saat ini sedang ada diskusi/wacana di ITB untuk memperbaiki 'performansi'nya Sabuga ITB,
sehingga dapat memberikan 'nilai tambah' yang lebih lagi bukan hanya kepada ITB
tetapi juga bagi kota Bandung. tentunya nilai tambah yang dimaksudkan disini bukan
hanya dari sisi uang nya saja, tetapi juga 'outcome'nya.

Mon, August 11, 2008 10:22 pm

Urun pengalaman ya.
Pengalaman saya dengan gedung khusus kesenian adalah Teater Tanah Airku di taman
mini, sulit utk menutup biaya operasional, apalagi mengembalikan pinjaman waktu
bangun.. Gedung tersebut dibangun dgn kualitas soundsystem yg bagus sekali, sdh ada
multimedianya dan dengan layar 50 layar yg bisa berganti2.
Syukur beberapa tahun terakhir okupansinya melejit karena acara AFI Indosiar dan
Seleb2 dari Indosiar, kalau hanya benar2 seni, sdh tidak bisa menutupi biaya
operasional.

Wimbo Hardjito
wimbo.hardjito@koni.or.id

Response:
Betul sekali Mas Wimbo, disamping harga gedung konser itu mahal, operasional dan pemeliharaan-nya juga mahal..
Karena itulah saya sangat menekankan perlunya feasibitily study yang benar2 komprehensif dan objektif
sehingga keberadaan Concert Hall yang dedicated tersebut 'sustainable' untuk waktu yang lama.
Seperti yang sudah saya utarakan, Concert Hall merupakan gedung yang juga bersifat sebagai landamark yang
memiliki usia pakai puluhan tahun atau bahkan lebih. Jika 'roh' atau 'spirit'nya tidak ada, jadinya hanya seonggok
bangunan yang terdiri dari batu, bata atau beton saja.. Hal yang hampir sama juga terjadi pada bangunan2 lain seperti
gedung olah raga, kampus, sekolah dan sebagainya.

Tue, August 12, 2008 9:21 am

Cara mengatasi gema:
1. pasang plafond acoustic panel.
2. pasang gordijn di seluruh dinding, boleh yang tipis, bagusnya yang tebal.
3. posisi speaker jangan dari depan, tapi menyebar di plafond, dengan daya
3-5 watt/speaker, jarak tiap 5m.

Mestinya cukup untuk meredam gema.

Salam,
Prasetyo Roem
Tue, August 12, 2008 9:22 am
Bagaimana dengan Gedung Kesenian Jakarta yang di depan Pasar Baru itu ?
Saya beberapa kali nonton ketoprak Humor (Timbul cs) dan wayang orang di
situ. Gedung itu juga pernah dipakai untuk berbagai acara kesenian.
Akustiknya ? Saya nggak sempat amati dengan baik, tapi seperti halnya
Djakarta Theater, akustiknya lumayan kok, jauh lebih baik daripada GSG
waktu wisuda dulu.

Edi Kunsudianto
Edi.Kunsudianto@arunlng.co.id
Response :
Mas Pras, betul sekali yang diutarakan tersebut.. Acoustic treatment pada umumnya dilakukan dengan instalasi material penyerap, pemantul atau pen'diffus' suara.. atau juga merubah kondisi arsitekturnya. Semuanya mesti dilakukan sesuai dengan kondisi di lapangan/ruangannya, tidak hanya asal pasang. Namun pada umumnya mesti ada 'kompromi' yang cukup komprehensif dengan bidang2 lain seperti arsitektur dan design interior.. dan terus terang saja, hal inilah yang sering menjadi permasalahan di lapangan. Dan pada umumnya, masalah akustika ruangan menjadi hal yang 'dikesampingkan', sampai akhirnya setelah bangunan/ruangan selesai dibangun dan ditempati oleh 'penghuninya' barulah sang 'pemilik' kelabakan karena kondisi akustik di ruangan nya tidak sesuai dengan yang 'diharapkan'nya.

Mas Edi, saya sudah pernah mencoba menghubungi pihak Gedung Kesenian Jakarta, untuk bisa memperoleh kondisi objektif dari akustiknya, namun tidak ada response sama sekali. Saya juga pernah menghubungi (secara lisan melalui telepon) manajemen Balai Sarbini untuk meperoleh data yang sama, namun 'lucunya' pihak manajemen mengatakan data tersebut adalah rahasia perusahaan..;-)

Tue, August 12, 2008 9:35 am

GKJ dibandingkan GSG ? Jauh dong. Aku pernah ngadain concert paduan suara di
GKJ. Menurutku akustiknya bagus sekali. Ada atau tidak ada penonton gak
terasa ada gemanya. suaranya bagus tuh. Hanya saja perawatannya yang kurang.

(Vicky) Victor I. Tangkilisan
"Mr. Vicky"
Response :
Mas Vicky, Betul sekali lho.. GKJ nggak bisa dibandingkan dengan GSG nya ITB.. Karena GSG sangat tidak representatif untuk dimanfaatkan sebagai Auditorium itulah, makanya ITB membangun Sabuga di era Prof. Wiranto. Jadinya sekarang ITB bisa berbangga karena memiliki Auditorium Sabuga yang cukup memadai bukan hanya dari sisi kapasitasnya tapi juga dari sisi fasilitasnya.. :-)


Tue, August 12, 2008 12:25 pm

hehehe .... GSG jangan dikomentari akustiknya .....
lha itu gedung untuk olahraga .... kalau perlu satu orang teriak
seperti ada seratus manusia teriak juga ......

Wied
Response :

hahaha... kayaknya mas Wied pernah nyoba ya... jaman itu mao ngilangin stress apa..ayooo?

Coba lihat juga Blog ini :
http://freemagz.com/freewill/i-want-to-hear-music



Rabu, 06 Agustus 2008

AudiCraft Speaker

AudiCraft Speaker

Speaker unik buatan saya sendiri..
hmm.. maaf not for sale ..lho ;-)





AudiCraft Speaker

Speaker unik buatan saya sendiri..


Minggu, 03 Agustus 2008

‘Gamelan Bali’ International Concert Hall, Apakah diperlukan..?

Chan Concert Hall - Taiwan

‘Gamelan Bali’ International Concert Hall, Apakah diperlukan..?

Dr.Ir. I Gde Nyoman Merthayasa M.Eng.

Sudah diketahui secara umum bahwa, Concert Hall atau Gedung Konser adalah suatu bangunan yang diperuntukkan bagi penyelenggaraan dan pegelaran konser musik. Sesuai dengan tujuannya maka hal-hal teknis utama yang diperlukan adalah kondisi akustik di dalam gedung konser tersebut, baik secara objektif maupun subjektif mesti berada pada kondisi optimal sesuai dengan tuntutan pemusik maupun penonton/audience nya. Gedung konser merupakan hasil inovasi arsitektur dari budaya barat yang secara teknis memang ditujukan untuk menunjang budaya seni musik. Sejarahnya dimulai sejak awal abad ke 19 dimulai dengan bangunan berupa amphitheater, colloseoum, gedung opera baru kemudian gedung konser. Perkembangannya ini juga seiiring dengan perkembangan ilmu akustik dan juga arsitektur. Pada jaman modern ini, gedung konser sudah merupakan hasil inovasi mutakhir dari berbagai teknologi, ilmu pengetahuan dan seni musik itu sendiri.

Pada umumnya, gedung konser dibangun untuk berfungsi dalam jangka waktu yang lama dan bersifat monumental untuk menunjang pengembangan dan kemajuan budaya terutama sekali seni budaya musik (termasuk juga nyanyi dan tari). Karena berfungsi untuk jangka waktu lama maka perancangan gedung konser mesti tahan gempa, memenuhi persyaratan arsitektur yang sesuai dengan lokasi, budaya, kondisi fisik lingkungannya dan mendapat dukungan sosial, materiil dan moril dari masyarakatnya. Hal ini juga disebabkan oleh karakteristiknya sebagai bangunan monumental yang secara umum akan menjadi lambang perjalanan sejarah budaya dan karakteristik masyarakat di daerahnya. Bahkan, gedung konser juga dapat menjadi suatu “landmark” dari suatu daerah atau bangsa, seperti Sidney Opera House misalnya. Sementara itu, karena tuntutan kompleksitas dan ketelitian kondisi akustik di dalamnya, maka bagi para ahli akustik, gedung konser ini bisa diibaratkan sebagai alat musik raksasa. Ungkapan ini secara objektif dapat dipahami mengingat hasil kondisi suaranya mempunyai karakteristik yang khas dan unik sehingga dapat dikatakan seorang penonton tidak akan pernah mendengarkan suara yang ‘sama’ di tempat dan waktu lainnya di dunia. Disinilah keterpaduan antara berbagai bidang ilmu, teknologi dan seni yang sebenar-benarnya mesti dilaksanakan sehingga dapat menghasilkan berbagai dampak yang positif bagi masyarakat.

Mengingat kondisi akustik di dalam ruangan menjadi tujuan utamanya, maka pada umumnya gedung konser bersifat tertutup dengan maksud agar dapat menghilangkan pengaruh bising dari lingkungan komunitasnya. Karena ketertutupannya itu, gedung konser mesti dilengkapi dengan sistem tata udara sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi pengunjung atau penontonnya untuk berkonsentrasi mendengarkan pertunjukan musik yang dipegelarkan. Faktor kenyamanan ini juga menjadi salah satu tujuan dari gedung konser tersebut, sehingga orang yang datang untuk menonton konser benar2 terpenuhi tujuan utamanya. Tentunya ketertutupan tersebut juga dimaksudkan agar pegelaran dan juga penonton tidak terganggu akibat cuaca panas terik matahari atau hujan. Perkembangan teknologi elektro-akustik, dalam bentuk alat musik elektronik dan juga sistem tata suara elektronik juga membantu perkembangan rancangan gedung konser. Tetapi, untuk pagelaran musik dengan alat musik non-elektronik, apresiasi terhadap gedung konser tanpa sistem tata suara elektronik tetap tinggi, mengingat ke’asli’an dan ke’alami’an dari suara musik yang dihasilkannya.

Sementara itu, musik gamelan Bali sudah dikenal sebagai salah satu musik tradisional yang khas dari Indonesia, dan sudah seringkali dipertunjukkan di gedung2 konser bertaraf internasional di manca negara. Pada umumnya, secara tradisional musik gamelan Bali dikenal sebagai ‘outdoor’ musik, karena di tempat asalnya yaitu di Bali sendiri belum ada Gedung Konser yang memenuhi persyaratan secara akustik untuk mempegelarkan musik ini di dalam ruangan. Secara internasional musik Gamelan Bali sudah lama dikenal dan menjadi salah satu penunjang ketertarikan wisatawan manca negara untuk datang ke Bali khusus nya dan ke Indonesia pada umumnya. Ketertarikan masyarakat internasional ini dapat dilihat dari adanya sekian banyak sekehe gamelan Bali di Amerika, Australia, Eropa dan juga Jepang, misalnya, dengan pelaku atau pemusiknya juga berasal dari masing-masing negara tersebut.

Kesempatan untuk dipegelarkan di gedung konser internasional secara tidak langsung sebenarnya dapat meningkatkan ‘confidence’ dan juga ‘prideness’ dari pemusik-pemusik gamelan Bali tersebut, tetapi secara langsung belum dapat meningkatkan kesan yang sama kepada masyarakatnya di daerahnya sendiri. Hal ini karena masyarakatnya sendiri, sebagai pendukung utama budaya seni ini, belum pernah merasakan langsung peningkatan kwalitas hasil kreasi dan inovasi mereka sendiri, karena mereka belum memiliki gedung konser yang memenuhi persyaratan untuk meningkatkan kwalitas musik gamelan Bali tersebut.

Dari segi ilmu akustik, musik gamelan Bali dapat dikatakan ‘lebih memerlukan ruangan’ dibandingkan dengan musik klasik barat (misalnya komposisi yang dikenal dalam bidang akustik dengan nama Musik motif A, yaitu potongan musik gubahan Orlando Gibbons berjudul ‘Royal Pavane’). Kesimpulan dari hasil penelitian ini, sudah penulis presentasikan di International Congress on Acoustics pada tahun 2001 di Roma Italia, dalam paper berjudul ‘Spatial Factor of Sound Fields for Gamelan Bali Concert Halls’. Dengan demikian, anggapan bahwa musik gamelan Bali hanya dapat dimainkan di ruang terbuka (atau biasa disebut ‘outdoor music’) secara objektif dapat diabaikan. Dari simulasi teknis dengan memanfaatkan perangkat komputer kondisi objektif tersebut dengan nyata dapat dibuktikan.

Secara umum, kondisi fisik dari medan suara di dalam gedung konser yang dapat memenuhi ‘preference’ - (’keinginan’) dari semua penonton di tempat duduknya masing-masing, dapat disebutkan terdiri dari empat komponen utama dimana komponen pertama adalah tingkat kekerasan suara yang terdengar oleh masing-masing penonton. Komponen ini sangat tergantung kepada karakteristik akustik dari alat musiknya, posisi penempatannya di panggung, kondisi ruang dari gedung konser dan termasuk juga cara memainkan alat musik tersebut. Pada jaman sekarang, hal ini dapat ditunjang oleh pemanfaatan sistem tata suara walaupun konsekwensinya adalah mengurangi ke’alamiah’an dari suara musik yang dimainkan tersebut.

Komponen kedua yang mempengaruhi adalah adanya waktu tunda dari sampainya suara pantulan pertama akibat bidang bagian dalam ruangan gedung konser misalnya dinding, panggung atau langit-langit dibandingkan suara langsung yang diterima penonton dari masing-masing alat musiknya sendiri. Faktor ini secara psikologis dapat menyebabkan penonton merasakan arah suara dan juga ‘kelebaran’ dari sumber suara itu sendiri.

Komponen ketiga yang mempengaruhi adalah adanya waktu dengung ruangan yang dirasakan oleh masing2 penonton di tempat duduknya. Karakteristik ini sangat dipengaruhi oleh kondisi dimensi, ukuran, kapasitas tempat duduk, jumlah penonton dan juga karakteristik material bangunan pembentuk interior gedung konser itu sendiri. Penonton akan merasakan dirinya di’selimuti’ oleh keindahan dan keagungan musik yang dipegelarkan, yang sebenarnya secara teknis tidak dapat mereka rasakan selain mereka menghadiri atau menonton konser secara langsung. Hal ini juga menyebabkan penonton secara subjektif akan lebih ingin menonton konser secara langsung dibandingkan dengan mendengarkan suara rekaman secara elektronik, dengan sistem perekaman dan pemutar ulang paling canggih dan mahal sekalipun.

Komponen keempat atau terakhir adalah kondisi suara yang diterima berbeda antara telinga kiri dan kanan masing-masing penonton. Perbedaan ini menyebabkan penonton ‘merasakan ruang’ dari gedung konser itu sendiri. Hal inilah sebenarnya yang menjadi dasar perasaan ’stereo’ yang tertanam di dalam hasil rekaman elektronik.

Ketiga faktor pertama yang dijelaskan di atas merupakan besaran fisik yang tergantung kepada komponen temporal dan spektral dari medan suaranya. Komponen temporal sebenarnya sangat dipengaruhi oleh waktu dan dinamika musik itu sendiri, sementara komponen spektral sangat dipengaruhi oleh frekwensi dari suaranya. Perlu juga diketahui bahwa secara spektral, kemampuan telinga manusia untuk mendengarkan suara tidaklah linier untuk semua frekwensi. Hal ini dapat diketahui dengan sensitivitas telinga kita yang berbeda untuk frekwensi rendah, medium dan frekwensi tinggi. Sedangkan komponen keempat merupakan komponen spatial yang sangat tergantung kepada kondisi ruangan sendiri, tidak dipengaruhi oleh jenis atau karakteristik suara dari sumber suara, dalam hal ini sumber suaranya adalah alat-alat musik yang dimainkan termasuk suara vokal dari penyanyi nya. Dalam hal ruangan dilengkapi dengan sistem tata suara, maka karakteristik akustik loudspeaker dan juga penempatannya sangat menentukan faktor spatial yang dirasakan dan dialami oleh setiap penonton.

Kombinasi semua faktor-faktor tersebut di atas, dimanfaatkan secara elektronik dan dipasarkan secara luas dengan nama ‘home theatre’, walaupun pada kenyataannya medan suara yang dihasilkan oleh peralatan ini sebenarnya hanya untuk ‘menipu’ telinga manusia saja. Salah satu akibatnya misalnya adalah adanya kesan bahwa mendengarkan suara dari ‘home theatre’ lebih baik dibandingkan dengan mendengarkan konser secara langsung.

Pemanfaatan kondisi akustik yang memenuhi persyaratan dan berkwalitas bagi pengunjung atau penghuni gedung atau setiap ruangan sebenarnya mesti sudah tertanam di dalam rancangan awal dari arsitektur bangunan atau gedung-gedung itu. Tetapi kenyataan yang ada, kemungkinan karena faktor biaya dan alasan teknis lainnya, sering sekali kondisi akustik yang baik bagi suatu ruangan ini diabaikan saja. Misalnya hal ini terjadi pada pembangunan suatu auditorium dimana komponen perancangan akustiknya sejak awal tidak dilibatkan. Hasilnya, adalah terjadinya cacat akustik yang pada akhirnya menyebabkan dilakukannya renovasi arsitektur atau desain interior ruangan.

Secara akustik, suatu gedung konser mesti dirancang sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan ‘preference’ dari penonton. ‘Preference’ ini sangat bersifat subjektif, seperti contohnya kacamata yang memiliki ukuran yang unik untuk masing-masing orang. Melalui penelitian yang intensif oleh peneliti-peneliti Jepang, Eropa dan Amerika, maka besarnya nilai keempat parameter yang disebutkan di atas untuk memperoleh ‘preference’ umum optimal untuk gedung konser bagi jenis musik-musik tertentu sudah dapat diperoleh.

Sementara itu, penelitian untuk menentukan kondisi optimum dari parameter akustik yang diperlukan bagi konser musik gamelan Bali, telah penulis lakukan dan salah satu hasil penelitian tersebut telah disebutkan di atas, yaitu musik gamelan Bali ‘lebih memerlukan nilai spatial ruang konser’ dibandingkan dengan musik klasik. Dengan nilai-nilai parameter optimum tersebut, maka dapat dirancang gedung konser yang khusus dan bersifat unik untuk musik gamelan Bali.

Gedung Konser Gamelan Bali yang bersifat ‘dedicated’ ini, tentu saja memerlukan telaah awal (feasibility study) yang objektif, teliti dan bersifat integral bukan saja dari permasalahan nilai ekonominya tetapi juga dari sisi sosial, budaya, termasuk juga dukungan dari masyarakat. Hal ini secara objektif mesti dilakukan untuk menghindari adanya kesan tujuan dari keberadaan gedung konser tersebut terpisah dari tujuan pengembangan budaya masyarakatnya. Disamping itu, perlu juga dihindari keterlibatan yang bersifat politis yang memungkinkan terjadinya ko-optasi pemahaman dan juga ‘interest’ sekelompok orang saja. Dengan kata lain keberadaan gedung konser gamelan Bali ini, mesti berasal dari masyarakat, dimiliki dan juga dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat untuk meningkatkan budayanya. Dengan demikian, masyarakat akan lebih ‘confidence’ dan juga ‘proud’ dengan budayanya sendiri, sehingga tujuan dari ‘quality culture’ untuk menunjang ‘quality life’ bagi masyarakat Bali pada khususnya dan Indonesia pada umumnya dapat tercapai.

Bagi para seniman sendiri terutama sekali seniman musik gamelan Bali dan juga Tari Bali, akan tertantang untuk ber’kreatifitas’ dan ber’inovasi’ secara optimal, untuk mengangkat hasil karyanya agar memenuhi kwalitas internasional. Hal ini tentunya akan menjadi terobosan bagi perkembangan budaya di Bali khususnya dan di Indonesia pada umumnya.

Perlu juga diungkapkan disini, sampai saat inipun Indonesia belum memiliki sarana Gedung Konser yang memenuhi persyaratan sesuai dengan tuntutan seniman dan penonton, seperti yang dikemukakan oleh seorang konduktor musik asal Indonesia yang sudah membuktikan karyanya di manca negara. Di Negara maju, keberadaan gedung konser sudah merupakan salah satu kebutuhan masyarakatnya untuk meningkatkan budayanya sendiri. Sebagai contoh dapat dikemukakan bagaimana Jepang dapat mempertahankan dan juga meningkatkan budaya tradisionalnya, misalnya ‘kabuki’, dan juga meng’kreasi’ dan meng’inovasi’ opera barat ke dalam budayanya sendiri, seperti yang dipertunjukkan secara reguler dan terkenal di Jepang bahkan ke manca negara, yaitu Opera Takarazuka di Osaka Jepang. Di seluruh Jepang, dapat dikatakan di setiap kotanya selalu ada minimal satu gedung konser. Dengan tunjangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang intensif maka Jepang dapat mempertahankan dan meningkatkan kwalitas budayanya sendiri setara dengan budaya yang berasal dari barat. Budaya mereka benar-benar sudah menunjukkan ‘tuan di negerinya sendiri’, dan masyarakatnya sangat ‘confidence’ dan ‘proud’ dengan hal itu, sehingga mereka secara positif dan aktif ikut melakukan ‘Konservasi’ dan berpartisipasi untuk mengembangkannya. Penghargaan masyarakatnya atas ‘kreatifitas’ dan ‘inovasi’ sangat tinggi. Hal yang hampir serupa juga berlaku bagi budaya dan masyarakat China dan India. Tulisan dan pendapat tentang hal ini sudah banyak dikemukakan di media-media baik cetak maupun elektronik.

Dari penjelasan tersebut di atas, satu pertanyaan yang mesti dijawab adalah apakah gedung konser musik gamelan Bali ini diperlukan atau tidak. Pertanyaan tersebut mesti dijawab oleh para seniman gamelan Bali, budayawan, penikmat musik gamelan Bali dan pribadi-pribadi yang terkait dengan usaha untuk meningkatkan kwalitas budaya bangsa, mengingat merekalah ‘stake holder’ utama dari adanya sarana perangkat keras tersebut. Tentunya untuk menjawab hal tersebut diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai arti dan manfaat baik secara fisik maupun moril dari adanya gedung konser gamelan Bali tersebut. Hal ini dapat dilakukan melalui seminar-seminar, workshop budaya atau juga melalui pembahasan melalui forum diskusi secara elektronik. Semoga bermanfaat … adanya.


Jika ada saran-saran dan masukan, mohon dituliskan di komentar ya.. Terima kasih



Jumat, 01 Agustus 2008

Objektif Perancangan Akustik dan Peranan ‘Impulse Response’

Objektif Perancangan Akustik dan Peranan ‘Impulse Response’


Oleh : Komang Merthayasa

Perkembangan bisnis sistem tata suara dan juga peranan ilmu akustik untuk menunjang perkembangan rancangan arsitektur dan interior bagi ruangan yang dimanfaat untuk menunjang performansi sistem tata suara, pada saat ini menunjukkan peningkatan yang cukup menggembirakan. Hal ini ditunjukkan dengan bertambah banyaknya kebutuhan akan ruangan ‘home theatre’ baik itu di ibukota maupun di kota-kota besar lainnya. Perkembangan perangkat sistem tata suara yang menunjang ‘home theatre’ inipun, menjadi pemicu bagi peningkatan minat dan kebutuhan para pengemar audio khususnya dan masyarakat pada umumnya. Perkembangan budaya ‘karaoke’ pun menambah gairah perkembangan kebutuhan akan ruangan yang memiliki kondisi akustik yang memadai untuk kebutuhan tersebut.

Apapun bentuk dan jenis ruangan atau ‘venue’ yang membutuhkan perancangan akustik yang tepat, semestinya memiliki objektif untuk menghasilkan medan suara yang sesuai dengan tujuan dan maksud pemanfaatan ruangan atau ‘venue’ tersebut. Sebelum membicarakan objektif tersebut, perlu kita pahami bersama mekanisme dari terjadinya suara dan juga medan suara di dalam ruangan.

Gambar 1. Komponen utama terjadinya suara

Pada Gambar 1, secara sederhana digambarkan bahwa akustik atau terjadinya suara itu menyangkut 3 komponen utama yaitu sumber suara, ruangan/medium dan penerima. Jika salah satu dari ketiga komponen utama tersebut tidak ada, maka suara pun tidak ada. Ketiga komponen utama akustik ini memiliki karakteristik yang dapat dinilai dan diukur baik itu secara objektif maupun secara subjektif. Penilaian objektif tentunya berdasarkan kepada besaran2 yang bersifat objektif yaitu besaran-besaran fisika, misalnya besaran ‘sound pressure level’ dari sumber suara, besaran waktu dengung ruangan atau juga ‘directivity’ dari mikrophone (dalam hal ini mikrophone bertindak sebagai penerima suara). Sementara itu penilaian subjektif pada umumnya berdasarkan kepada ‘subjective preference’ dari orang yang menilainya, meskipun penilaian yang dilakukan tersebut sering juga didasarkan kepada besaran-besaran fisika, misalnya seseorang lebih menyukai ‘speaker A’ dibandingkan dengan ‘speaker B’ akibat adanya perbedaan karakteristik frekwensi atau juga perbedaan karakteristik dinamiknya.

Objektif perancangan akustik

Tujuan atau objektif dari perancangan akustik suatu ‘venue’, baik itu ‘indoor’ maupun ‘outdoor’, semestinya menyertakan dan memperhitungkan juga ketiga karakteristik objektif komponen utama akustik tersebut. Pada umumnya, apapun perancangan akustik yang dilakukan, apakah itu perancangan tata suara lengkap, tanpa memberikan ‘acoustics treatment’ pada ‘venue’ di luar ruangan, maupun perancangan akustik ruangan, misalnya perancangan akustik ruang ‘home theatre’ atau studio rekaman, maka tujuan atau objektifnya adalah menghasilkan medan suara yang optimal dan tepat yang dapat didengarkan oleh pendengarnya. Medan suara yang didengarkan oleh pendengar ini tentunya memiliki karakteristik yang ditentukan oleh besaran-besaran yang bersifat objektif yaitu karakteristik fisika dari medan suara.

Karakteristik medan suara yang diterima pendengar dapat dibagi menjadi komponen yang bersifat temporal, yaitu besaran yang dapat dinyatakan sebagai fungsi waktu. Disamping itu ada juga komponen yang bersifat spatial, yaitu besaran yang dapat dinyatakan dengan dimensi ruang. Jika penerimanya adalah manusia atau orang, bukan mikrophone untuk perekaman misalnya, maka karakteristik medan suara yang diterima itu dapat dinyatakan dengan 4 parameter utama yaitu :

1. Tingkat pendengaran (listening level), biasanya besaran ini dinyatakan dengan besaran dBA.

2. Waktu tunda pantulan awal (initial delay time), yaitu waktu tunda yang terjadi antara suara langsung dan suara pantulan,

3. Waktu dengung subsequent (subsequent reverberation time), yaitu waktu dengung yang berhubungan satu-satu dengan posisi sumber suara dan penerima dan

4. Korelasi silang sinyal antar kedua telinga (inter-aural cross correlation, IACC), yaitu besaran yang menyatakan adanya perbedaan sinyal suara yang diterima di telinga kiri dan kanan pendengar.

Tiga parameter utama dari 1 sampai 3 di atas adalah parameter yang bersifat temporal dan besaran ini dapat diukur dengan menggunakan satu channel pengukuran saja, misalnya menggunakan sound level meter atau frequency analyser 1 channel. Disamping itu, ketiga parameter tersebut memiliki karakteristik yang juga sangat tergantung kepada frekwensi. Sementara parameter utama yang keempat adalah besaran yang bersifat spatial dan hanya dapat diukur dengan menggunakan instrumen dual channel dengan memanfaatkan dummy head. Hal ini disebabkan karena manusia memiliki dua buah telinga yang posisinya sedemikian rupa sehingga dapat mendeteksi adanya ruang dan juga dapat melokalisasikan posisi dari sumber suara. Adanya ke-empat parameter utama akustik ini, bukan hanya berlaku bagi medan suara di dalam ruangan (indoor) tetapi juga berlaku untuk sistem tata suara di luar ruangan (outdoor).

Dari penjelasan di atas, maka objektif perancangan akustik, baik indoor maupun outdoor, termasuk juga perancangan sistem tata suara dari studio rekaman sampai kepada gedung konser, sudah semestinya dapat memanfaatkan keempat parameter utama ini. Kebutuhan atau tujuan yang dikehendaki oleh ‘klien’ atau ‘owner’ dari ruangan atau ‘venue’ mesti diterjemahkan ke dalam besaran objektif dari keempat parameter tersebut. Sebagai contoh, jika klien menginginkan agar ruangan dapat digunakan sebagai auditorium tanpa menggunakan musik misalnya, maka perancangan akustik mesti menerjemahkan kebutuhan medan suara bagi pembicaraan/pidato ini ke dalam besaran-besaran keempat parameter tersebut. Perancang mesti menentukan suatu posisi yang disebut dengan ‘design point’ dimana di posisi ini nilai besaran keempat parameter tersebut mesti dirancang berada pada nilai yang ‘optimum’, bagi tujuan pemanfaatan ruangan atau ‘venue’ tersebut. Jika ruangan atau ‘venue’ tersebut cukup luas, maka dapat dibuatkan rancangan ‘mapping’ dari besaran keempat parameter tersebut, terutama sekali di daerah dimana penonton atau audience berada.

Setelah ‘propose’ nilai keempat parameter tersebut disetujui, dimengerti dan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh ‘klien’ atau ‘owner’, termasuk juga perlu dikonsultasikan dan didiskusikan tentang ‘appearance’ dari ‘design interior’ atau ‘venue set up’ nya, maka besaran keempat parameter ini dapat diterjemahkan kembali ke dalam besaran2 fisika yang sesuai dan berhubungan dengan arsitektur dan juga design interior. Besaran-besaran itu, misalnya volume ruangan, luas ruangan, ketinggian langit-langit, karakteristik akustik permukaan dinding langit-langit dan juga semua bidang permukaan di dalam ruangan atau di daerah ‘venue’ tersebut. Besaran-besaran inilah yang mesti di’implementasi’kan oleh pelaksana/kontraktor dan juga ‘sound engineer’ di lapangan.

Setelah pelaksanaan ‘implementasi’ rancangan hampir selesai, maka perlu dilakukan pengukuran untuk mengetahui sejauh mana kondisi objektif di lapangan sudah mendekati atau sesuai dengan besaran-besaran yang di’propose’. Apabila masih terjadi penyimpangan antara kondisi riil dengan kondisi ‘propose’, maka dengan tepat dan cermat pelaksana dilapangan dapat melakukan perbaikan-perbaikan, bahkan dapat memberikan usulan perubahan rancangan kepada perancangnya. Perubahan atau ‘modifikasi’ rancangan inipun perlu juga untuk dikonsultasikan dan didiskusikan terlebih dahulu dengan ‘klien’ ataupun ‘owner’. Sebelum seluruh hasil pekerjaan akhir dari ‘treatment acoustics’ diserah-terimakan kepada ‘klien’ atau ‘owner’, kembali perlu dilakukan pengukuran parameter-parameter tersebut, dimana hal ini akan menunjukkan sejauh mana kesesuaian antara karakteristik objektif dari hasil rancangan dengan karakteristik hasil implementasi rancangan. Dengan demikian maka akan dapat dihindari ‘judgement’ yang sangat bersifat ‘subjective’ dan juga menunjukkan ‘quality product’ dari seluruh proses perancangan akustik tersebut.

Impulse Response

Salah satu ‘tool’ yang cukup baik dan memadai untuk melakukan ‘verifikasi’ besaran2 keempat parameter akustik seperti yang dijelaskan di atas adalah impulse response. Untuk kondisi akustik di dalam ruangan, fenomenanya dapat dijelaskan dengan menggunakan Gambar 2 berikut ini.

Di dalam setiap ruangan, maka sinyal suara yang dihasilkan oleh sumber suara akan diterima oleh pendengar atau penerima suara, setelah sinyal suara tersebut menjalar di dalam ruangan. Sinyal suara ini akan mengalami semua proses penjalaran gelombang mekanis di dalam ruangan seperti pantulan, penyerapan dan transmisi oleh permukaan ruangan disamping juga pembelokan gelombang suara oleh permukaan tertentu. Pada posisi penerima, sinyal suara dari sumber suara tersebut diterima dalam bentuk suara langsung dinyatakan dengan L pada Gambar 2, suara pantulan yang dinyatakan dengan P dan juga suara dengung yang dinyatakan dengan D. Akibat sifat penjalaran suara yang berupa penjalaran gelombang mekanis dengan kecepatan penjalaran yang jauh-jauh lebih lambat dibandingkan dengan kecepatan cahaya, maka pada penerimaan ketiga jenis suara tadi akan diterima dengan susunan waktu yang berbeda-beda. Jika sinyal dari sumber suara berupa sinyal impulse yaitu sinyal dengan daya yang cukup besar -- idealnya secara matematis dayanya tidak berhingga-- dan memiliki waktu kejadian yang sangat pendek --idealnya waktu kejadiannya mendekati nol detik-- maka pada penerima akan diterima urutan sinyal impulse yang berjumlah tidak berhingga. Sekuensial sinyal inilah yang disebut dengan ‘response impulse’. Pada masa lalu, sebagai sinyal pemicu impulse digunakan letusan balon atau ledakan pistol kosong, tetapi pada saat ini dengan perkembangan teknologi ‘digital signal processing’, maka digunakanlah suatu sinyal digital yang disebut dengan sinyal ‘maximum length sequence, MLS’. Dengan memanfaatkan teknologi ‘digital signal processing’ tersebut, sinyal impulse yang diterima di kedua telinga pendengar dapat diukur dan hasil proses ini disebut dengan ‘binaural impulse response’. Dari ‘binaural impulse response’ inilah, parameter IACC dapat ditentukan. Tentang fenomena alami dan arti dari IACC ini dan juga hubungannya dengan masalah ‘spatialisasi’ atau ‘kesan ruang’ pada medan suara, akan penulis jelaskan dikesempatan lain. Sebelumnya perlu juga untuk dinyatakan bahwa ‘implementasi’ konsep IACC ini juga ikut menentukan pengembangan konsep ‘home theatre’ yang saat ini sudah ada.

Gambar 2. Terjadinya suara langsung (L), pantulan awal (P) dan dengung (D) di dalam suatu ruangan

Implementasi konsep ‘impulse response’ dalam perancangan akustik

Dengan memahami, konsep-konsep dasar akustik maka perancangan kondisi akustik untuk setiap ruangan ataupun ‘venue’ dapat dilakukan. Disini akan diberikan bagaimana perancangan akustik dan ‘acoustic treatment’ dari Gereja Sidang Jemaat Allah Bethlehem Bogor yang berlokasi di Jalan Suryakencana, Bogor. Dengan memanfaatkan perangkat lunak komputer EASE -- bisa juga dengan memanfaatkan perangkat lunak akustik lainnya seperti CATT Acoustics ataupun ODEON-- sinyal impulse dari mimbar maupun dari audience dapat digambarkan seperi ditunjukkan pada Gambar 3 dan Gambar 4.

Gambar 3. Sinyal impulse yang dibangkitkan dari posisi mimbar GSJA Bethlehem Bogor (diperoleh dari laporan AcETS, perancang akustik GSJA).

Gambar 4. Sinyal impulse yang dibangkitkan dari posisi jemaat/audience GSJA Bethlehem Bogor (diperoleh dari laporan AcETS, perancang akustik GSJA).

Dengan bantuan perangkat lunak akustik tersebut, posisi sumber suara perlu ditetapkan dan demikian juga semua karakteristik akustik dari sumber suara tersebut mesti diperhitungkan, misalnya ‘directivity’ dari speaker, ‘frequency response’ nya, karakteristik daya dan sebagainya. Disamping itu, karakteristik akustik ruangan seperti posisi dan karakteristik permukaan-permukaan yang berfungsi untuk menyerap suara, karakteristik spesifik dan posisi ‘Schroeder Diffusor’, reflektor suara dan juga karakteristik akustik ‘audience’ juga mesti diperhitungkan. Selanjutnya, pada semua posisi ‘audience’ dapat diperoleh besaran parameter akustiknya dari hasil perhitungan analisis ‘impulse response’nya. Segala hal yang berhubungan dengan masalah ‘cacat akustik’ baik itu cacat akustik temporal maupun spektral dapat diidentifikasi dan ditanggulangi sejak awal pada tahap perencanaan ini. Perlu juga ditegaskan disini, ‘Schroeder Diffusor’ yang dipasang di GSJA ini, dirancang sepenuhnya oleh perencana, mengingat karakteristik akustik ‘Schroeder Diffusor’ tersebut bersifat unik untuk keperluan yang bersifat ‘customize’. Ini berarti, suatu jenis ‘Schroeder Diffusor’ tertentu hanya berfungsi dengan tepat jika dipasang pada posisi dan ruang yang tertentu pula, sesuai dengan hasil perancangan akustik yang berdasar kepada konsep ‘impulse response’ tersebut.

Setelah pelaksanaan ‘acoustics treatment’ dikerjakan oleh kontraktor, pengukuran karakteristik akustik ruangan dilakukan dengan mengukur ‘impluse response’nya pada posisi-posisi audience dan juga posisi yang dianggap penting lainnya. ‘Acoustics mapping’ yang diperoleh dari pengukuran ini kemudian digunakan untuk mem’verifikasi’ data ‘Acoustics mapping’ yang di’propose’ pada tahap perancangan dengan batuan perangkat lunak EASE tersebut. Semua hasil proses perancangan dan juga pengukuran ini kemudian dituangkan kedalam dokumen laporan, yang merupakan dokumen penting bagi ‘klien’ atau ‘owner’ untuk keperluan ‘acoustics performance maintenance’ dimasa mendatang.


Maskot Seni Cepung Lombok



Bagiada, Maskot Seni Cepung Lombok

Selasa, 18 Maret 2008 | 00:47 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/03/18/00474830

Suara seruling memecah suasana menjelang rembang petang di Dusun Tambangeleh, Desa Kuripan, Kecamatan Kuripan, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Bagiada yang bertelanjang dada duduk bersila di depan rumahnya, meraut, membenahi, sambil menjajal suara alat tiup dari bambu yang tengah dikerjakannya.

Niki tiang senjari’ang beraye si melet lalo bedoe suling—Saya lagi bikin suling buat sahabat saya yang ingin sekali punya suling,” ujar I Ketut Bagiada (75), sang peniup suling, yang beberapa bulan terakhir tak lagi bermain cepung di panggung.

”Ni, sakit lalo (di sini sakit sekali),” ujar Bagiada sambil menunjuk dada dan perut bagian bawah. Ia bercerita, ketika berobat ke dokter, dia dinyatakan sakit mag, lalu disuntik.

”Setelah disuntik rasanya tenaga saya pulih. Saya bisa becepung lagi. Cuma saya tak bisa seperti dulu semalam suntuk, sekarang cukup sampai jam satu,” katanya.

Cepung di Lombok merupakan seni pandang-dengar, yang mirip macapatan (Jawa Tengah), macaan (Jawa Timur), wawacan (Sunda), baca syair (Riau), dan mabebasan atau mabasan (Bali).

Pemain cepung terdiri dari enam orang. Masing-masing bertugas memainkan suling, redep (rebab, sejenis alat musik yang digunakan dalam kesenian gambang keromong, Betawi). Kemudian ada pemaos (pembaca naskah lontar), penyokong (pendukung), dan punggawa (penerjemah) naskah Lontar Monyeh sebagai sumber cerita.

Punggawa dan penyokong menirukan irama gamelan dengan mulut. Oleh karena itu, punggawa bersama penyokong menjadi pusat perhatian penonton. Bahkan keduanya bisa disebut ”ruh” teater tutur ini.

Bagiada bolehlah disebut maskot cepung karena memiliki kriteria punggawa yang hingga saat ini belum ada pesaingnya. Kalaupun ada grup baru muncul, selain biasanya berusia seumur jagung, teknik bertutur hingga penguasaan panggung punggawanya juga belum sebaik Bagiada.

”Bermain cepung adalah bermain dengan hati dan perasaan. Faktor intrinsik orang itu bisa terasah jika diikuti ketekunan. Unsur-unsur itu ada pada Bagiada,” begitu kesan Ida Komang Pasha, penekun seni tabuh Sasak, Lombok.

Mengatur mimik

Becepung telah melekat pada diri Bagiada. Ia mampu mengatur mimik menurut figur yang dipresentasikan (raja, putri, dan anak-anak). Dalam posisi duduk bersila, dia bisa merajut gerakan tubuh dan tangan bagaikan tengah menari. Ekspresi wajahnya dapat tiba-tiba seram layaknya rona wajah seorang raja yang tengah murka.

Terkadang ia meliuk-liukkan tubuhnya, berlenggang-lenggok dan bertutur kata yang lemah lembut ibarat sosok putri raja. Ia bisa menangis dan cengeng seketika, tertawa dan manja beberapa saat kemudian. Ini menjadikan khalayak penonton tertawa.

Kemampuan Bagiada itu didukung rekannya seperti Amaq Ridin (pemain redep) dan Mamiq Ambar (pemaos). Sebelum sakit, Bagiada biasanya jarang di rumah. Nyaris setiap hari dia memenuhi undangan pentas untuk berbagai acara seperti perkawinan dan khitanan.

Selama 45 tahun ia berkesenian, sebagian besar desa di Lombok sudah didatanginya. Bagiada harus berjalan kaki atau naik dokar. Bahkan tak jarang dia mesti menginap demi memenuhi undangan si empunya hajat.

Saking populernya kesenian ini, semasa Orde Baru, Bagiada kerap tampil sebagai ”penyuluh” yang menitipkan pesan-pesan pembangunan, seperti menggalakkan program Keluarga Berencana lewat lelakak (pantun) yang spontan diucapkannya.

Pernah juga pentasnya dihentikan di tengah jalan oleh si empunya hajat. Pasalnya, grup kesenian jangger yang bersamaan pentas dengannya tidak kebagian penonton. Semua orang ingin menyaksikan Bagiada beraksi.

Kali lain, lewat lelakak-nya, Bagiada berlaku sebagai mediator bagi penonton yang dilanda asmara. Ia punya cerita tersendiri. Misalnya, Bagiada yang lagi manggung kaget karena dipeluk seorang pemuda, penontonnya. Setelah diusut, penonton itu sedang kasmaran. Untuk kekasihnya yang juga menonton pertunjukan itu, si pemuda minta Bagiada melukiskan isi hatinya.

Bagiada secara spontan juga bisa bersenandung, menunjukkan pantun muda-mudi yang kerap dilontarkan. Katanya, ”piak lingkok taok ku nginem, aku sisir pelapak gedang, timakku tindok ndek ku tidem, si kupikir anak dengan (membuat sumur tempatku minum, aku raut pelepah kates, meski tubuhku tidur terbaring dengan mata terpejam, tapi hatiku memikirkan anak orang lain/pujaan hati)”.

Buruh tani

Bagiada seniman tulen yang sebagian besar hidupnya diabdikan pada cepung. Seni becepung diperolehnya dari seniman cepung lain, Ida Wayan Gala (almarhum), pemilik grup tempat ia magang selama beberapa tahun. Sepeninggal gurunya, Bagiada terbenam dalam kesenian yang sekaligus memberi penghasilan baginya.

Terlebih lagi ia tak punya sawah warisan, dan hingga kini sumber pendapatannya yang lain adalah sebagai penyakap, buruh tani yang mengelola sawah orang lain. Dari hasil panen itu, setengah diberikan kepada pemilik tanah dan separuhnya lagi untuk Bagiada menyambung hidup.

Dia mengerjakan tanah seluas 55 are yang ditanami kangkung. Waktu senggang ia gunakan untuk membuat seruling bambu yang dijualnya Rp 15.000-Rp 25.000 per buah, selain membuat pereret—mirip alat tiup klarinet—yang dijual Rp 350.000 per buah.

Sekali tempo, bila ada upacara keagamaan di pura, Bagiada diundang bermain pereret. Dari jasanya itu dia mengantongi uang Rp 90.000-Rp 120.000.

Meski kehidupan sehari-harinya bisa dibilang jauh dari cukup, hal itu tak menyurutkan semangat Bagiada melestarikan cepung. Ketika rekan mainnya tak lagi mampu ”mengamen”, Bagiada berusaha tampil bugar. Bahkan dia membentuk grup baru kendati hanya tahan pentas mulai pukul 21.00 sampai pukul 01.00.

Dulu, ia kerap kali baru menghentikan becepung saat matahari muncul di ufuk timur. Tarif sebesar Rp 700.000-Rp 800.000 yang diterimanya dibagi untuk lima anggota grup.

Jam terbangnya yang tinggi membuat banyak orang berguru kepadanya. Tetapi tidak sedikit murid yang kemudian lupa akan jasanya. Hal itu tak dia pusingkan. Baginya, selama masih ada orang yang mau belajar becepung, berarti kesenian itu tidak punah.

”Saya ingin diajak main, tapi mereka tidak mau melibatkan saya lagi,” katanya. Akibatnya, grup baru cepung itu pun mati suri, sementara Bagiada tetap populer, baik di kalangan etnis Sasak maupun etnis Bali.

Bagiada dan seni pandang-dengar itu seolah memang tidak bisa dipisahkan....

BIODATA

Nama: I Ketut Bagiada
Usia: 75 tahun
Pendidikan: Tidak sekolah
Istri: I Komang Aning
Anak: I Nengah Sriwati

Pengalaman:

Pentas di Taman Budaya NTB Mataram
Pentas di Institut Kesenian Jakarta sebagai bahan kajian ilmiah
Pentas di Denpasar, Bali, tahun 1987
Pentas sebagai bahan kajian ilmiah Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia di Taman Budaya Mataram tahun 1997