Jumat, 01 Agustus 2008

Maskot Seni Cepung Lombok



Bagiada, Maskot Seni Cepung Lombok

Selasa, 18 Maret 2008 | 00:47 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/03/18/00474830

Suara seruling memecah suasana menjelang rembang petang di Dusun Tambangeleh, Desa Kuripan, Kecamatan Kuripan, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Bagiada yang bertelanjang dada duduk bersila di depan rumahnya, meraut, membenahi, sambil menjajal suara alat tiup dari bambu yang tengah dikerjakannya.

Niki tiang senjari’ang beraye si melet lalo bedoe suling—Saya lagi bikin suling buat sahabat saya yang ingin sekali punya suling,” ujar I Ketut Bagiada (75), sang peniup suling, yang beberapa bulan terakhir tak lagi bermain cepung di panggung.

”Ni, sakit lalo (di sini sakit sekali),” ujar Bagiada sambil menunjuk dada dan perut bagian bawah. Ia bercerita, ketika berobat ke dokter, dia dinyatakan sakit mag, lalu disuntik.

”Setelah disuntik rasanya tenaga saya pulih. Saya bisa becepung lagi. Cuma saya tak bisa seperti dulu semalam suntuk, sekarang cukup sampai jam satu,” katanya.

Cepung di Lombok merupakan seni pandang-dengar, yang mirip macapatan (Jawa Tengah), macaan (Jawa Timur), wawacan (Sunda), baca syair (Riau), dan mabebasan atau mabasan (Bali).

Pemain cepung terdiri dari enam orang. Masing-masing bertugas memainkan suling, redep (rebab, sejenis alat musik yang digunakan dalam kesenian gambang keromong, Betawi). Kemudian ada pemaos (pembaca naskah lontar), penyokong (pendukung), dan punggawa (penerjemah) naskah Lontar Monyeh sebagai sumber cerita.

Punggawa dan penyokong menirukan irama gamelan dengan mulut. Oleh karena itu, punggawa bersama penyokong menjadi pusat perhatian penonton. Bahkan keduanya bisa disebut ”ruh” teater tutur ini.

Bagiada bolehlah disebut maskot cepung karena memiliki kriteria punggawa yang hingga saat ini belum ada pesaingnya. Kalaupun ada grup baru muncul, selain biasanya berusia seumur jagung, teknik bertutur hingga penguasaan panggung punggawanya juga belum sebaik Bagiada.

”Bermain cepung adalah bermain dengan hati dan perasaan. Faktor intrinsik orang itu bisa terasah jika diikuti ketekunan. Unsur-unsur itu ada pada Bagiada,” begitu kesan Ida Komang Pasha, penekun seni tabuh Sasak, Lombok.

Mengatur mimik

Becepung telah melekat pada diri Bagiada. Ia mampu mengatur mimik menurut figur yang dipresentasikan (raja, putri, dan anak-anak). Dalam posisi duduk bersila, dia bisa merajut gerakan tubuh dan tangan bagaikan tengah menari. Ekspresi wajahnya dapat tiba-tiba seram layaknya rona wajah seorang raja yang tengah murka.

Terkadang ia meliuk-liukkan tubuhnya, berlenggang-lenggok dan bertutur kata yang lemah lembut ibarat sosok putri raja. Ia bisa menangis dan cengeng seketika, tertawa dan manja beberapa saat kemudian. Ini menjadikan khalayak penonton tertawa.

Kemampuan Bagiada itu didukung rekannya seperti Amaq Ridin (pemain redep) dan Mamiq Ambar (pemaos). Sebelum sakit, Bagiada biasanya jarang di rumah. Nyaris setiap hari dia memenuhi undangan pentas untuk berbagai acara seperti perkawinan dan khitanan.

Selama 45 tahun ia berkesenian, sebagian besar desa di Lombok sudah didatanginya. Bagiada harus berjalan kaki atau naik dokar. Bahkan tak jarang dia mesti menginap demi memenuhi undangan si empunya hajat.

Saking populernya kesenian ini, semasa Orde Baru, Bagiada kerap tampil sebagai ”penyuluh” yang menitipkan pesan-pesan pembangunan, seperti menggalakkan program Keluarga Berencana lewat lelakak (pantun) yang spontan diucapkannya.

Pernah juga pentasnya dihentikan di tengah jalan oleh si empunya hajat. Pasalnya, grup kesenian jangger yang bersamaan pentas dengannya tidak kebagian penonton. Semua orang ingin menyaksikan Bagiada beraksi.

Kali lain, lewat lelakak-nya, Bagiada berlaku sebagai mediator bagi penonton yang dilanda asmara. Ia punya cerita tersendiri. Misalnya, Bagiada yang lagi manggung kaget karena dipeluk seorang pemuda, penontonnya. Setelah diusut, penonton itu sedang kasmaran. Untuk kekasihnya yang juga menonton pertunjukan itu, si pemuda minta Bagiada melukiskan isi hatinya.

Bagiada secara spontan juga bisa bersenandung, menunjukkan pantun muda-mudi yang kerap dilontarkan. Katanya, ”piak lingkok taok ku nginem, aku sisir pelapak gedang, timakku tindok ndek ku tidem, si kupikir anak dengan (membuat sumur tempatku minum, aku raut pelepah kates, meski tubuhku tidur terbaring dengan mata terpejam, tapi hatiku memikirkan anak orang lain/pujaan hati)”.

Buruh tani

Bagiada seniman tulen yang sebagian besar hidupnya diabdikan pada cepung. Seni becepung diperolehnya dari seniman cepung lain, Ida Wayan Gala (almarhum), pemilik grup tempat ia magang selama beberapa tahun. Sepeninggal gurunya, Bagiada terbenam dalam kesenian yang sekaligus memberi penghasilan baginya.

Terlebih lagi ia tak punya sawah warisan, dan hingga kini sumber pendapatannya yang lain adalah sebagai penyakap, buruh tani yang mengelola sawah orang lain. Dari hasil panen itu, setengah diberikan kepada pemilik tanah dan separuhnya lagi untuk Bagiada menyambung hidup.

Dia mengerjakan tanah seluas 55 are yang ditanami kangkung. Waktu senggang ia gunakan untuk membuat seruling bambu yang dijualnya Rp 15.000-Rp 25.000 per buah, selain membuat pereret—mirip alat tiup klarinet—yang dijual Rp 350.000 per buah.

Sekali tempo, bila ada upacara keagamaan di pura, Bagiada diundang bermain pereret. Dari jasanya itu dia mengantongi uang Rp 90.000-Rp 120.000.

Meski kehidupan sehari-harinya bisa dibilang jauh dari cukup, hal itu tak menyurutkan semangat Bagiada melestarikan cepung. Ketika rekan mainnya tak lagi mampu ”mengamen”, Bagiada berusaha tampil bugar. Bahkan dia membentuk grup baru kendati hanya tahan pentas mulai pukul 21.00 sampai pukul 01.00.

Dulu, ia kerap kali baru menghentikan becepung saat matahari muncul di ufuk timur. Tarif sebesar Rp 700.000-Rp 800.000 yang diterimanya dibagi untuk lima anggota grup.

Jam terbangnya yang tinggi membuat banyak orang berguru kepadanya. Tetapi tidak sedikit murid yang kemudian lupa akan jasanya. Hal itu tak dia pusingkan. Baginya, selama masih ada orang yang mau belajar becepung, berarti kesenian itu tidak punah.

”Saya ingin diajak main, tapi mereka tidak mau melibatkan saya lagi,” katanya. Akibatnya, grup baru cepung itu pun mati suri, sementara Bagiada tetap populer, baik di kalangan etnis Sasak maupun etnis Bali.

Bagiada dan seni pandang-dengar itu seolah memang tidak bisa dipisahkan....

BIODATA

Nama: I Ketut Bagiada
Usia: 75 tahun
Pendidikan: Tidak sekolah
Istri: I Komang Aning
Anak: I Nengah Sriwati

Pengalaman:

Pentas di Taman Budaya NTB Mataram
Pentas di Institut Kesenian Jakarta sebagai bahan kajian ilmiah
Pentas di Denpasar, Bali, tahun 1987
Pentas sebagai bahan kajian ilmiah Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia di Taman Budaya Mataram tahun 1997

Tidak ada komentar: