Minggu, 24 Agustus 2008

'Ngelawang' Usang di Tengah Nurani Gersang


Tulisan di Balipost


KETIKA tradisi ngelawang masih bergulir harmonis, betapa terkesan tenteram dan damainya Bali. Perayaan Galungan dan Kuningan yang dimaknai sebagai hari kemenangan dharma atas adharma, rasanya kurang afdol tanpa dimeriahkan oleh sajian pentas ngelawang. Gairah berkesenian dan perhatian terhadap jagat seni itu mengesankan betapa sejuknya hati sanubari masyarakatnya. Apakah kini dengan tergerusnya ngelawang akan menjerumuskan masyarakat Bali pada kegersangan nurani?

Ada yang menafsirkan filosofi ngelawang sebagai ruwatan bumi demi terawatnya kemanusiaan. Tradisi pentas seni nomaden ini diduga berakar pada psiko-religi dari sebuah mitologi Hindu, Siwa Tatwa. Alkisah, ketika Dewa Siwa dan Dewi Uma bercinta tidak pada tempat dan waktunya, harmoni terguncang. Bumi gonjang-ganjing. Akibatnya adalah kesengsaraan bagi umat manusia dan makhluk hidup yang lainnya. Sadar akan kekhilapannya itu, Dewa Siwa mengutus para dewa untuk menenangkan dan menemteramkan kembali seisi alam. Setiba di bumi, para dewa itu menciptakan dan mementaskan beragam bentuk kesenian. Lewat pergelaran seni itu seisi jagat kembali damai.

Persembahan ngelawang pada Galungan juga disangga konsepsi alam pikiran menolak bala yang berangkat dari legenda kemenangan kebajikan melawan kezaliman. Konon, dulu di Bali berkuasa seorang raja zalim bernama Mayadanawa. Raja berwujud raksasa ini dengan sewenang-wenang melarang rakyatnya menyembah Tuhan. Turunlah kemudian Dewa Indra dari kahyangan untuk memerangi Mayadanawa. Melalui pertempuran yang dahsyat, Dewa Indra berhasil membinasakan Mayadanawa. Sejak itu rakyat Bali kembali tenteram yang kemudian mensyukurinya sebagai hari Galungan. Seni pentas ngelawang dalam konteks ini dimaknai untuk menjaga kesucian jagat dan melindungi manusia dari gangguan roh-roh jahat.

Akar mitologi dan sanggaan legenda yang mengusung keberadaan ngelawang itu kini, setidaknya sejak 15 tahun terakhir, rupanya mulai rapuh. Padahal dalam konteks berkesenian, tradisi ngelawang adalah wahana pelestarian dan pengembangan nilai-nilai estetis nan alamiah. Dan interaksi yang terjadi dalam ngelawang adalah hasrat sukmawi masyarakat dalam arti luas untuk berkomunikasi, menjalin solidaritas, merajut ketenteraman hidup bersama.


Didera Kegamanagan
Ngelawang kini kian menepi. Fenomena kehidupan transformatif ini tak bisa dipungkiri memang membawa konsekuensi multidimensional dalam berbagai aspek. Atmosfir masyarakat agraris tradisional dengan kekentalan psiko-religiusnya mungkin memang kontekstual dengan persemaian yang kondusif bagi eksisnya tradisi ngelawang pada masa lalu.

Sementara kini di tengah dinamika dan konfrontasi nilai-nilai, pola pikir rasional dan pola laku pragmatis-sekuler, membumbung naik daun. Dalam konteks industri global pariwisata Bali misalnya, komersialisasi dan sikap permisif cenderung dijunjung-junjung. Komunalitas pentas ngelawang kalah.

Pamor tradisi ngelawang dalam esensi seni dan terutama subtansi makna ritual magis yang dikandungnya bisa jadi telah terkikis, kehilangan konteks. Masyarakat pendukungnya sedang bimbang di persimpangan zaman dalam guncangan dahsyat modernitas dan globalitas. Reaktualisasi dan kontektualisasi ngelawang yang digaungkan setiap tahun dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) misalnya, belum mampu menggugah bangkitnya kembali pentas seni itu di tengah masyarakat Bali. Jika pun ada, tampak terkesan sebuah pertunjukan emosional romantis sesaat.

Ada kecenderungan makna-makna sakral-magis-simbolik sedang tergerus. Sebaliknya materialisme hedonistis sedang berhembus kencang mereduksi tatanan kehidupan. Karena itu, masuk akal bila seni pentas ngelawang terjengkang, kehilangan fungsi dan makna, linglung di persimpangan jalan dalam kegalauan masyarakat pendukungnya yang sedang bimbang di persimpangan zaman. Apa boleh buat.

Belakangan ini para pegiat seni pertunjukan tradisional Bali didera kegamangan dan kian ciut nyalinya melakoni kehidupan ini. Termasuk gamang meneruskan dan mewarisi pentas seni ngelawang.

Fenomena ini bisa jadi merupakan prolog dari krisis kemanusiaan dan kebersamaan sosial. Mudah-mudahan para seniman sebagai insani terdepan mengawal damainya dunia seni masih tegar dan tak kehilangan gairah menghadapi guncangan dan godaan kehidupan ini.

Namun, jika para pegiat seni sendiri sudah tidak arif memformulasikan pesan moral kebajikan dan kezaliman dalam ekspresi diri dan keseniannya, niscaya akan kian menjauhkan masyarakat dari indahnya kedamaian itu. Pentas ngelawang jadi usang di tengah nurani gersang.


* kadek suartaya

Tidak ada komentar: