Kamis, 07 Agustus 2008

Gedung Konser (Internasional) yang ‘dedicated’ untuk Wayang Kulit..?


Suntory Hall - Tokyo

Gedung Konser (Internasional) yang ‘dedicated’ untuk Wayang Kulit..?


Dari response teman2 di mailing list, berikut saya kutipkan komentar & idea yang terkandung di dalamnya..:
Dari sisi Akustik ada contoh gedung konser yang dapat memenuhi semua tuntutan 'preferensi penonton/pendengar' nya, misalnya saya sisipkan foto dari Suntory Hall - Tokyo Japan.
Jika Gedung Konser Wayang Kulit bentuk dan design nya seperti Suntory hall ini, bagaimana..?
Rasanya 'preferensi'nya Mas Marko
Menonton.....mendengarkan.....membayangkan.....
bisa tercapai ya...?
Pertanyaan nya adalah..? Apakah serious... perlu adanya Gedung Konser untuk
Wayang Kulit?
Apalagi yang berkarakteristik Internasional !
Kalau dari sisi akustik nya, saya yakin bisa dirancang untuk mencapai
'performansi optimalnya'..
selevel dengan gedung konser internasional
(tentunya tanpa perlu diisi dengan 'pipe organ'nya].. ;-)
Bagaimana juga dengan ksenian Wayang Golek, Wayang orang [Wong]
dan juga Wayang kulit dari Bali?

NB :
Ingin tahu lebih banyak tentang wayang..?
Kunjungi saja : http://prabuwayang.wordpress.com/


Copy-Paste .. Comment di milist [sekalian minta ijin ya]..

Pernah nonton wayang kulit ?
Bagaimanakah seharusnya posisi gamelan agar bisa terdengar "me-ruang",  
tetapi posisinya jangan pas ada di belakang dalang?
Dengan posisi tradisionil sekarang ini, jarak antara penonton dengan dalang
menjadi jauh, dan untuk orang2 dengan mata minus,
wajah wayang menjadi kurang jelas.
Apakah perlu dibuatkan gedung pertunjukan khusus wayang kulit dengan 
pengaturan khusus?

Salam,
Pras "Prasetyo Roem" konti@cbn.net.id
Betul cak Pras, perlu dibuat gedung dengan tiga level tanggung.
Dua level di belakang dalang, dimana gamelan di bawah dan penonton di atasnya.
Kemudian dalang di depan dengan level setengahnya,
tengah-tengah level antara penonton dan gamelan.
Dengan dimikian baik penonton maupun penabuh gamelan bisa dekat
dengan posisi dalang hanya level ketinggiannya berbeda.
 
Salam,
Sumarko sumarko@musashi.co.id
wah kayaknya gak bisa  mas marko, nanti mata kita, penonton, ada diatas layar...
atau kalau sejajar layar, gamelan jadi di bawah kita...
wah gak tau kalau susunan ini secara akustik masih ok???
lha wong sumber suaranya dibawah..
bagaimana kalau gamelan dibagi 2, di kiri dan kanan... dalang,
jadi jarak penonton yang sudah minus matanya masih bisa menikmati detail wayang..
btw, blog mas Komang Ok, salut

salam
"arya abieta" <aabieta@yahoo.com>
Konon khabarnya nonton wayang kulit itu tidak harus melihat detail wajah wayangnya
cukup hanya bayangan sosok wayang, oleh karena itu juga disebut sebagai shadow puppet
.. ta' iye.
Yang mengagumkan adalah designer wayang yang sudah memperhitungkan efek bayangan
secara detail sehingga dari balik layarpun bisa dinikmati ......
Gamelan bisa dibagi menjadi 2 kelompok asal delay suara masih dalam allowance
karena mereka khan tidak ada konduktornya .... konduktornya cuma suara kendang.
 
Wied wied01@yahoo.com
mantan peniup suling Waditra Ganesha

gemana paka Komang Mertayase ?, ahlinya akustik

"Nyoman Sumawijaya" nyomans@geotek.lipi.go.id

Aturan yg bener nnonton wayang kulit seharusnya gimana sih?
Saya kira dari balik layar dimana penonton tdk bisa melihat dalang dan gamelannya.
Jadi yg kita tonton adalah bayangan yg terlihat di layar. Betul enggak sih...?
 
bs Budi.Santoso@arunlng.co.id
Nonton wayang kulit itu perlu dipilah pilah mau pilih apanya :
1. Nonton "geber" dibalik layar, puas dengan bayangan + membayangkan suara sinden
2. Nonton sinden : antara suara dengan kecantikkannya nyambung apa tidak
3. Nonton "sabetane" dalang, ketrampilan dalang dalam memainkan wayang
4. Mendengarkan pesan-pesan dalang, cukup dengan mendengar tidak perlu nonton
5. Mengikuti alur cerita dan membayangkan bagaimana serunya
6. .... Menonton.....mendengarkan.....membayangkan.....
Jadi yang bener yang mana, ya semuanya benar karena tidak ada yang salah
Ha...ha....ha....
 
Salam,
Sumarko sumarko@musashi.co.id

Kang ..... aku gak ngerti aturan nonton wayang kulit yang bener itu seperti apa,
waktu kecil doeloe memang sering nonton wayang kulit ini walau sebagian besar suluk dalang
atau ceritanya aku nggak mudeng ..... maklum aku nembe belajar boso jowo.
Biasanya waktu "jejeran" aku mlungker turu dekatnya kotak wayang,
lha kalau sudah saatnya perang tanding kotak itu pasti diketok-ketok keras oleh dalangnya ...
.. hehehe aku bisa bangun saat rame-ramenya, apalagi saat punakawan muncul pasti ger ... geran .....
Tampaknya Kiyai Harmiel adalah empu di bidang wayang bisa menjelaskan secara detail ....

Wied

Mon, August 11, 2008 2:47 pm

wah ... kalo spt Suntory Hall rasanya masih jauh banget bisa punya. Apa
perlu yang dedicated utk wayang kulit? gimana kalo gedung yg multi
purpose, bisa untuk konser wayang kulit, wayang orang, wayang golek,
konser musik (orchestra maupun yg bukan), pertunjukan seni tari, dsb.
Sekarang ini gedung opera yg bagus memenuhi syarat akustik yg baik di JKT
atau kota lain di Indonesia apa ya?

Problem akustik yg umumnya dialami ketika berada di suatu mesjid dg jumlah
jamaah (orang yg ada di ruangan tsb) yg penuh akan berbeda dg jika
jamaahnya sedikit. Ketika jamaahnya penuh, tidak ada gangguan gema shg
suara dari mimbar mudah didengar. Ketika jamaahnya sedikit, timbul gema.
Gimana nih mensiasatinya. Maunya tidak pake karpet, karena lantainya
marmer.

Terima kasih........, bs
Budi.Santoso@arunlng.co.id

Catatan :
Tentang Akustik untuk mesjid bisa dilihat di blog kolega saya :
http://jokosarwono.wordpress.com/2008/05/05/akustik-masjid/

Untuk Multi-purpose Hall, salah satunya adalah Sasana Budaya Ganesha ITB.
Silahkan search di internet mengenai utilisasinya.

Dari sisi Akustiknya akan saya bicarakan di kesempatan mendatang.

Saat ini sedang ada diskusi/wacana di ITB untuk memperbaiki 'performansi'nya Sabuga ITB,
sehingga dapat memberikan 'nilai tambah' yang lebih lagi bukan hanya kepada ITB
tetapi juga bagi kota Bandung. tentunya nilai tambah yang dimaksudkan disini bukan
hanya dari sisi uang nya saja, tetapi juga 'outcome'nya.

Mon, August 11, 2008 10:22 pm

Urun pengalaman ya.
Pengalaman saya dengan gedung khusus kesenian adalah Teater Tanah Airku di taman
mini, sulit utk menutup biaya operasional, apalagi mengembalikan pinjaman waktu
bangun.. Gedung tersebut dibangun dgn kualitas soundsystem yg bagus sekali, sdh ada
multimedianya dan dengan layar 50 layar yg bisa berganti2.
Syukur beberapa tahun terakhir okupansinya melejit karena acara AFI Indosiar dan
Seleb2 dari Indosiar, kalau hanya benar2 seni, sdh tidak bisa menutupi biaya
operasional.

Wimbo Hardjito
wimbo.hardjito@koni.or.id

Response:
Betul sekali Mas Wimbo, disamping harga gedung konser itu mahal, operasional dan pemeliharaan-nya juga mahal..
Karena itulah saya sangat menekankan perlunya feasibitily study yang benar2 komprehensif dan objektif
sehingga keberadaan Concert Hall yang dedicated tersebut 'sustainable' untuk waktu yang lama.
Seperti yang sudah saya utarakan, Concert Hall merupakan gedung yang juga bersifat sebagai landamark yang
memiliki usia pakai puluhan tahun atau bahkan lebih. Jika 'roh' atau 'spirit'nya tidak ada, jadinya hanya seonggok
bangunan yang terdiri dari batu, bata atau beton saja.. Hal yang hampir sama juga terjadi pada bangunan2 lain seperti
gedung olah raga, kampus, sekolah dan sebagainya.

Tue, August 12, 2008 9:21 am

Cara mengatasi gema:
1. pasang plafond acoustic panel.
2. pasang gordijn di seluruh dinding, boleh yang tipis, bagusnya yang tebal.
3. posisi speaker jangan dari depan, tapi menyebar di plafond, dengan daya
3-5 watt/speaker, jarak tiap 5m.

Mestinya cukup untuk meredam gema.

Salam,
Prasetyo Roem
Tue, August 12, 2008 9:22 am
Bagaimana dengan Gedung Kesenian Jakarta yang di depan Pasar Baru itu ?
Saya beberapa kali nonton ketoprak Humor (Timbul cs) dan wayang orang di
situ. Gedung itu juga pernah dipakai untuk berbagai acara kesenian.
Akustiknya ? Saya nggak sempat amati dengan baik, tapi seperti halnya
Djakarta Theater, akustiknya lumayan kok, jauh lebih baik daripada GSG
waktu wisuda dulu.

Edi Kunsudianto
Edi.Kunsudianto@arunlng.co.id
Response :
Mas Pras, betul sekali yang diutarakan tersebut.. Acoustic treatment pada umumnya dilakukan dengan instalasi material penyerap, pemantul atau pen'diffus' suara.. atau juga merubah kondisi arsitekturnya. Semuanya mesti dilakukan sesuai dengan kondisi di lapangan/ruangannya, tidak hanya asal pasang. Namun pada umumnya mesti ada 'kompromi' yang cukup komprehensif dengan bidang2 lain seperti arsitektur dan design interior.. dan terus terang saja, hal inilah yang sering menjadi permasalahan di lapangan. Dan pada umumnya, masalah akustika ruangan menjadi hal yang 'dikesampingkan', sampai akhirnya setelah bangunan/ruangan selesai dibangun dan ditempati oleh 'penghuninya' barulah sang 'pemilik' kelabakan karena kondisi akustik di ruangan nya tidak sesuai dengan yang 'diharapkan'nya.

Mas Edi, saya sudah pernah mencoba menghubungi pihak Gedung Kesenian Jakarta, untuk bisa memperoleh kondisi objektif dari akustiknya, namun tidak ada response sama sekali. Saya juga pernah menghubungi (secara lisan melalui telepon) manajemen Balai Sarbini untuk meperoleh data yang sama, namun 'lucunya' pihak manajemen mengatakan data tersebut adalah rahasia perusahaan..;-)

Tue, August 12, 2008 9:35 am

GKJ dibandingkan GSG ? Jauh dong. Aku pernah ngadain concert paduan suara di
GKJ. Menurutku akustiknya bagus sekali. Ada atau tidak ada penonton gak
terasa ada gemanya. suaranya bagus tuh. Hanya saja perawatannya yang kurang.

(Vicky) Victor I. Tangkilisan
"Mr. Vicky"
Response :
Mas Vicky, Betul sekali lho.. GKJ nggak bisa dibandingkan dengan GSG nya ITB.. Karena GSG sangat tidak representatif untuk dimanfaatkan sebagai Auditorium itulah, makanya ITB membangun Sabuga di era Prof. Wiranto. Jadinya sekarang ITB bisa berbangga karena memiliki Auditorium Sabuga yang cukup memadai bukan hanya dari sisi kapasitasnya tapi juga dari sisi fasilitasnya.. :-)


Tue, August 12, 2008 12:25 pm

hehehe .... GSG jangan dikomentari akustiknya .....
lha itu gedung untuk olahraga .... kalau perlu satu orang teriak
seperti ada seratus manusia teriak juga ......

Wied
Response :

hahaha... kayaknya mas Wied pernah nyoba ya... jaman itu mao ngilangin stress apa..ayooo?

Coba lihat juga Blog ini :
http://freemagz.com/freewill/i-want-to-hear-music



Tidak ada komentar: